Makintau : Belajar dari Pram (1)

Beberapa minggu yang lalu saya baru saja menyelesaikan 4 buku Tetralogi Buru dari Pramoedya Ananta Toer. Bagi kalian yang hidup di pedalaman gua atau hutan belantara, Pram adalah salah satu penulis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia bahkan dunia. Dialah satu-satunya penulis di Indonesia yang sering dinominasikan di Nobel Sastra. Buku beliau yang paling terkenal adalah Bumi Manusia yang merupakan buku pertama dari 4 buku Tetralogi Buru. Sekuel selanjutnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Saya tidak akan mereview tetralogi ini, karena hampir semua orang tau kualitas buku ini. Bahkan jadi buku Indonesia dengan rating tertinggi di goodreads.

Buku yang bagus itu tidak sekedar “bagus” dalam arti kualitas tapi juga membuat pembacanya berpikir. Merenungkan apa sebenarnya arti hidup mereka selama ini (lebay tapi kurang lebih gitu). Bisa dibilang inilah buku yang pertama kali membuat saya seperti itu.

Why this book is so fucking good?
Why this book is so fvcking good?

Beda orang beda pengalaman. Tapi berikut ini adalah yang saya dapat dari membaca 4 buku Pram ini. Tenang saja, spoiler free kok.

Intro

Buku ini adalah roman sejarah yang mengambil setting di pergantian abad 19 ke 20.Walaupun fiksi, tapi buku ini mengambil beberapa event yang terjadi di awal pergerakan nasional seperti pembentukan Boedi Oetomo, Syarekat Dagang Islam, Indische Partij, dll. Dan juga kisah hidup beberapa pahlawan nasional yang populer seperti  Kartini, Tiga Serangkai, Cokroaminoto, Dr. Soetomo, dkk. Bahkan kalo mau lebih teliti banyak tokoh-tokoh tidak populer yang tampil disini, seperti ayahnya M.H. Thamrin, yaitu Thabri Thamrin ataupun pendiri Kebun Binatang Surabaya, seorang jurnalis H.F.K. Kommer. Bahkan terdapat kejadian-kejadian kecil remeh yang cukup menarik diceritakan seperti hebohnya masyarakat di awal-awal munculnya sepeda pancal dan mobil.

Walaupun banyak kejadian-kejadian sejarah tertulis di buku ini, menurut saya tidak semuanya bisa dijadikan acuan sejarah, karena ada beberapa hal yang menurut saya lebih sebuah opini penulis dibanding fakta sejarah. Tapi menurut saya hal ini adalah wajar, karena apapun juga ini adalah karya fiksi yang perlu beberapa ada tambahan konflik & bumbu-bumbu dramatisasi.

Saya kurang tahu seberapa besar persentase keakuratan sejarah di buku ini, karena saya belum membaca buku sejarah lebih lanjut untuk klarifikasi. Tapi penelitian saya baru sekedar google & wiki yang infonya kurang lengkap dan belum tentu akurat juga. Okelah, anggap saja 90% sejarah yang ditulis di buku benar, ada beberapa informasi yang sangat berharga. Jika ada beberapa informasi di bawah ini tidak benar, maka saya akan edit lagi di kemudian hari.

Golongan & kasta

Pemerintah Belanda sangat rasis. Pada jaman kolonialisasi, masyarakat dibagi menjadi 3 golongan. Mungkin mirip-mirip Apartheid di Afrika Selatan.

Golongan Eropa :

Golongan paling tinggi levelnya. Golongan Eropa adalah golongan masyarakat yang berasal dari Eropa (masaaak sih paakk?!). Jadi masyarakat yang dimaksud disini adalah orang Eropa dari Belanda maupun Non-Belanda dan juga Jepang. Juga termasuk anak sah dari golongan Eropa yang diakui Undang-Undang. Dan yang menarik disini adalah adanya Jepang yang masuk golongan ini yang seharusnya berada di golongan Asing Timur. Dibanding negara Asia lain, Jepang adalah yang terbaik dan merupakan negara yang tidak terjajah. Di buku itu, diceritakan Jepang berhasil mengalahkan Rusia dan lainnya, yang mau tidak mau, negara-negara Eropa ini harus mengakui Jepang menjadi satu level.

Ada satu golongan lagi mengalami identity crisis, yang agak ga jelas statusnya. Yaitu golongan peranakan (Indo) yaitu golongan campuran Eropa & Pribumi. Mereka menganggap lebih tinggi di atas pribumi dan sejajar golongan Eropa ini. Namun golongan Eropa tidak mengakui mereka sebagai satu golongan.

Golongan Asing Timur :

Golongan ini adalah masyarakat yang tidak termasuk Eropa maupun Pribumi. Yang masuk disini adalah bangsa Arab dan Cina. Pemerintah Belanda memastikan tempat tinggal semua golongan terpisah. Inilah kenapa kebanyakan di daerah Indonesia terdapat Kampung Arab & Pecinan. Biasanya yang masuk golongan ini bermatapencaharian sebagai pedagang.

Golongan Pribumi :

Sesuai namanya, adalah golongan yang sejak nenek moyang tinggal di tanah nusantara. Golongan paling rendah & menjadi babu golongan Eropa. Mereka yang harus merelakan tanah mereka direbut penjajah. Mereka yang tidak menjadi tuan di tanah sendiri.

Tidak semua

Tidak semua pribumi ingin merdeka. Kenapa bisa seperti ini?

Walaupun golongan pribumi adalah yang paling menderita tapi tidak semua pribumi menderita. Mereka adalah para priyayi, bupati, dan petinggi-petinggi yang mengabdi pada pemerintah Belanda. Mereka adalah raja-raja kecil di wilayah jajahan Belanda. Mereka yang membantu Belanda mendapatkan tanah-tanah pribumi. Mereka yang juga menikmati hasil jajahan dari keringat dan darah rakyat jelata. Mereka adalah penjilat Belanda. Mereka berlomba-lomba menjadi abdi Belanda. Mereka adalah sumber dari penyakit masyarakat modern Indonesia saat ini. Mental korupsi, ABS (asal bapak senang), & gila jabatan.

Mereka adalah golongan yang sudah mapan dan nyaman dengan kedudukannya. Di buku ke 3 (Jejak Langkah), ketika Minke (protagonis) mengajak beberapa Bupati untuk mendirikan organisasi, yang didapat ternyata adalah sindiran & hinaan. Buat mereka, buat apa mereka ikut-ikutan menderita memperjuangkan pribumi, kalau mereka sendiri sudah enak dengan kedudukan mereka saat ini. Saat itulah Minke menyadari kekuatan sebenarnya yang patut diperjuangkan adalah bukan orang-orang seperti ini, tapi orang-orang kecil dari golongan yang terkena imbas kerja paksa.

Tapi tidak semua Bupati seperti itu. Ayah dari Minke juga Bupati Bojonegoro yang awalnya agak keberatan dengan jalan hidup Minke. Namun pada akhirnya ikut membantu (tidak langsung), dengan mendirikan sekolah-sekolah (loh spoiler, tp untungnya bukan plot utama. hehe).

Kebalikan dari diatas, tidak semua Eropa bermental penjajah. Tentu saja, tidak semua orang Eropa berpikiran kapitalis. Di dalam hati mereka pasti juga ada nilai-nilai kemanusiaan. Contoh yang paling terkenal adalah Eduard Douwes Dekker. Yang membuat Max Havelaar, karena ketidakadilan di Hindia Belanda.

Di buku itu ada seorang jurnalis yang membantu Minke dalam suatu masalah di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Namanya adalah Kommer. Dia berusaha melalui surat kabarnya, kasus yang dialami Minke bisa tersebar di seluruh penjuru Hindia & dunia agar semua tahu ketidakadilan yang terjadi di Surabaya (setting buku 1).

Sekedar info, di buku itu diceritakan Kommer adalah orang yang suka berburu dan mengumpulkan binatang-binatang. Walaupun tidak disebutkan dengan eksplisit, jelas orang ini adalah yang membantu berdirinya Kebun Binatang Surabaya. Kalau dilihat di halaman wikinya, terdapat nama H.F.K. Kommer yang ciri-cirinya mirip dengan Kommer di buku.

Sebenarnya artikel ini mau saya buat 1 halaman dan singkat seperti artikel makintau lainnya. Tapi setelah saya tulis, kok makin lama makin kepikiran ide baru, dan tambah panjang. Yaudah saya bagi saja menjadi beberapa bagian. Jadi bagian 1 ini saya cukupkan sampai sini dulu. 😀

to be continued…

3 thoughts on “Makintau : Belajar dari Pram (1)

  1. Kuselesaikan membaca Tetralogi Buru di tahun 2013. Masih ‘haus’, dilanjutkan dengan Gadis Pantai. Kudapati pengalaman yang kurang lebih sama. ‘Review’ ini adalah salah satu yang sangat menarik untuk dibaca dan secara umum semua tulisanmu berkualitas: deep, comprehensive, wide-coverage, well written yet presented in such a fresh, unique way.
    btw, aku C0E 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.