Mataku terpejam, tapi tubuh tak mau mengalah. Sudah 2 jam ku berbaring di kasur, tapi rasa kantuk pun tak ada. Padahal tak setetes kopi pun ada yang ku minum hari ini. Aku harus bangun pagi. Ku lihat jam dinding menunjukkan jam 1 malam. Padahal belum lama aku melihat jarum jam masih di angka 11.
Coba kupejamkan mata ini sekali lagi, mungkin kali ini aku bisa tenggelam dalam lelap. Pikiranku kosong, pandanganku gelap, aku bisa mendengarkan nafasku sendiri, dan suara ayam berkokok. Ayam berkokok? Ku buka mata, ku lihat ke arah jam dinding yang telah menunjukkan jam setengah 7.
Astaga! Setengah jam lagi aku pintu gerbang sekolah akan tutup. Aku lompat berlari menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit aku sudah berada di motor bapak yang mengantarku ke sekolah.
Sepuluh menit kemudian, bapak menurunkanku di depan gerbang sekolah. Lega rasanya masih ada waktu 10 menit sebelum pagar ditutup. Tepat sebelum memasuki pintu kelas, ada suara memanggil dari jauh. Ternyata Dian yang memanggilku.
“PR matematika minggu lalu sudah kamu kerjakan?” tanya Dian santai.
“PR apa? Oh, tidak! Aku lupa! Bisa dimarahi Bu Nana nih,” aku panik.
Kelas akan dimulai 10 menit lagi. Tidak mungkin sempat menyelesaikan PRnya sekarang. Badanku lemas, tanganku gemetar. Bu Nana terkenal galak. Aku bakal dihukum berdiri di depan kelas. Sebagai juara kelas, mendapat hukuman ini adalah suatu aib.
“Tenang. Kamu bisa lihat punyaku kok. Ayo ikut aku! Jangan sampai kamu kelihatan disini menyalin kerjaanku.” kata Dian mengajakku ke belakang aula.
Aku terpaksa mengikuti Dian ke belakang aula. Tempat ini sepi, jarang ada yang melewati. Satu-satunya ada anak yang lewat sini adalah ketika jam istirahat. Itu pun tak banyak.
“Aman? Oke aku salin disini saja.” mataku melirik ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada saksi.
Dian membuka tas dan mengambil buku tulis. Memberikannya kepadaku. Aku menyalin persis semua hasil Dian tanpa meneliti apakah benar atau salah karena prioritasku saat ini adalah jangan sampai terkena hukuman.
Tak sampai 5 menit aku menyalin, aku menyadari satu hal. Dian bukan teman sekelasku.
“Dian, kita kan ga sekelas. Ngapain kamu nawarin aku tugasmu? Guru kita kan beda.”
“Mana ku tahu. Sini bukuku!” Dian menarik bukunya.
“Eh, tunggu!” teriakku.
Dian berlari ke ujung belokan aula. Aku langsung mengejar dia. Sesampainya di belokan, aku dikejutkan oleh Bu Nana yang sudah berdiri di depanku.
“Hayo, kamu menyontek ya!”
Seketika air membasahi mataku, jantung berdegub keras, aku berlari ke arah berlawanan menghindari Bu Nana.
“Maaf bu, aku janji ga akan menyontek PR lagi”
Aku balik badan, berlari, dan menangis. Aku malu. Tapi tubuhku rasanya berat. Kenapa aku tak bisa berlari. Semakin ku berusaha keras semakin lambat lariku.
Mataku terbuka, aku kembali di kamar. Ku lihat sinar matahari menembus tirai jendela. Aku cuma mimpi. Kenapa juga aku bermimpi masa-masa SDku? Sudah 20 tahun yang lalu sejak aku meninggalkan bangku SD. Ku hanya bisa tersenyum.
Hari ini tugas-tugas dari bos sudah ku kerjakan semua. Masih banyak waktu sebelum pulang. Aku jadi ingat mimpi semalam. Dian adalah teman dekatku ketika SD. Tapi Dian bukan teman sekelasku, bahkan dia bukan teman nyataku. Dia adalah teman imajinasiku.
Ketika SD aku dianggap aneh oleh teman sekelas. Aku lebih senang bermain sendiri dibanding dengan teman-teman lainnya. Aku lebih senang bermain dengan “sahabatku” Dian di belakang aula. Ketika teman-teman mengajak makan di kantin, aku lebih suka menghabiskan bekal buatan mama di tempat yang sama. Tentu saja dengan Dian yang selalu setia menemaniku.
Entah kenapa aku tidak bisa berbaur dengan teman-teman nyataku. Dian adalah pendengar yang baik. Dia yang selalu memahamiku. Aku memproyeksikan suatu sahabat yang ideal ke Dian.
Aku tak tahu sejak kapan Dian muncul di dalam hidupku. Mungkin kelas 1 atau 2, aku tak ingat. Bahkan aku tak tahu sejak kapan Dian hilang. Yang jelas di tahun-tahun terakhirku SD, aku tak pernah mengunjungi lagi areal belakang aula dan Dian pun tak pernah muncul lagi.
Ah, aku kangen sekali suasana SD-ku itu. Mungkin ini pertanda aku harus mengunjungi sekolah itu. Kebetulan ada Lutfi, teman sekelasku dulu, yang sekarang menjadi guru disana. Segera aku kirim pesan ke Lutfi, untuk mengabari bahwa aku akan main ke sekolah itu.
Aku berdiri di depan gerbang sekolah. Tak banyak berubah dari tempat ini semenjak 20 tahun lalu kumeninggalkan sekolah ini. Suasananya sepi tapi tak terlalu senyap karena ini masih jam pelajaran. Dari jauh aku melihat Lutfi keluar dari pintu kelas dan melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas mendatanginya.
“Hey, apa kabar? Aku sekarang mengajar di ruangan kelas kita dulu lho. Ayo kesini ku perkenalkan ke murid-muridku.” sambut Lutfi.
Aku diperkenalkan oleh Lutfi di depan murid-muridnya. Dia bercerita bahwa aku dan dia adalah lulusan sekolah ini. Aku juga bercerita tentang masa-masa sekolah dulu. Perkenalan tak sampai 15 menit, aku pamit undur diri ke murid-murid lucu harapan masa depan ini.
“Kamu jangan pulang dulu ya, bantu-bantu kami buat acara setelah jam istirahat.” kata Lutfi.
“Acara apa?” tanyaku.
“Tujuhbelasan! Tepat sekali kamu datang hari ini. Bakal ada acara lomba-lomba buat murid-murid.”
Aku menyetujui permintaan Lutfi. Kenapa tidak? Toh, aku sedang banyak waktu sekarang. Sekalian aku mau keliling-keliling gedung sekolah untuk sekedar nostalgia.
Tempat yang pertama ku datangi pertama kali tentu saja adalah areal belakang aula. Tempat ini berada paling ujung samping sekolah. Jarak antara aula dan pagar sekitar 1 meter. Dan sekarang tempat ini menjadi lebih gelap dari yang ku ingat karena sinar matahari tertutup oleh ruko yang berdiri tinggi di seberang pagar. Dulu disana adalah area kosong.
Yang tidak berubah adalah areal ini masih sepi seperti dulu. Jarang ada anak-anak yang mau main di tempat ini. Sekedar lewat pun tidak ada.
Ku lihat banyak coretan di tembok. Disini aku biasa mencoret-coret bersama Dian. Ku coba lihat seksama, tak ada lagi coretanku disini. Sudah berapa kali dinding ini dicat ulang? Walaupun sepi ternyata masih ada yang bermain disini. Suara keras bel membangunkanku dari lamunan. Sudah waktunya istirahat.
Acara lomba berjalan ramai dan lancar. Aku ikut membantu guru-guru mengatur murid-murid yang ikut lomba. Tapi ada satu kejadian yang bikin aku bertanya-tanya. Nama anak ini adalah Sukma. Ketika dipanggil untuk segera mengikuti lomba, dia hanya duduk diam ngambek di pinggir lapangan.
“Kenapa dik? Ayo segera ke lapangan!” bujukku.
“Ga mau. Aku ga mau ikut lomba. Aku maunya lomba sama Dian. Tapi dia ga mau kesini.” rengek Sukma
“Dian sekarang dimana?” tanyaku.
Sukma tak menjawab. Hanya menunduk kesal.
“Dian siapa sih, nak? Di sekolah ini ga ada yang namanya Dian. Ayo ikut lomba, jangan banyak alasan!” perintah Lutfi agak keras.
Aku tak bisa berkata-kata apa. Apakah ini cuma kebetulan? Apakah ini Dian yang sama dengan yang ku temui dulu. Apakah Dian itu “nyata”? Aku tak tahu.